KabarIndonesia - Krisis ekonomi dan krisis finansial seperti yang terjadi pada tahun 1998 dan 2008 pada umumnya dapat dirasakan dan disadari langsung oleh masyarakat indonesia. Namun mereka kurang menyadari krisis yang justru memiliki berdampak lebih besar dan terstruktur, yaitu krisis pendidikan. Krisis pendidikan di Indonesia semakin parah justru setelah Indonesia berdemokrasi dan bebas memilih apa yang terbaik untuk rakyat dan lepas dari belenggu kediktatoran.
Tidak seperti krisis ekonomi, krisis pendidikan ini berimplikasi pelan tetapi pasti dan sangat kuat dampaknya pada struktur sosial di masa depan. Bidang utama krisis pendidikan adalah sistem pendidikan yang mengadopsi sistem pasar dan konsep efisiensi privat atau perusahaan swasta yang dibawa pada ranah pendidikan yang bersifat publik. Sistem ini sebenarnya sudah melecehkan konstitusi yang menempatkan Negara sebagai pihak yang berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penghayatan terhadap totalitas konstitusi sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa, konstruksi sosial masyarakat yang sudah terkapitalisasi, dan ketidakcukpan pemaknaan yang lebih tegas, banyak melahirkan peraturan dan perundangan yang membawa ideologi yang sama sekali tidak dikehendaki oleh pendiri bangsa ini. Bahkan ketika konstitusi mengamanatkan dengan jelas alokasi anggaran untuk pendidikan, masih banyak dimaklumi pemunduran penerapannya. Bahkan ketika kesempatan itu ada, maka implementasi alokasi anggaran masih serabutan dan tidak jelas arahnya.
Ideologi dasar sistem pendidikan Indonesia saat ini tak lain adalah ideology neo-liberal murni, meski masih dibatasi oleh kondisi social. Artinya kerangka dasar sistem pendidikan Indonesia adalah ideology neoliberal dengan penyesuaian-penyesuaian kecil yang terlihat peduli pada hak-hak dan beban social masyarakat. Jadi perhatian pada hak rakyat atas pendidikan hanya ditempatkan sebagai kendala yang dipenuhi agar sistem utama dapat berjalan.
Dalam sistem pendidikan seperti ini pendidikan ditempatkan sebagai komoditas, peranan pemerintah diminimalisasi dengan berfokus pada control kurikulum dan standar melakukan desentralisasi kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain negara melempar kewajibannya pada entisan politik lokal.
Guru, dosen, dan profesi pendidik dininabobokan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau dengan kata lain ditempatkan dalam status ekonomi dan kondisi kerja yang rendah. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan seperti kenaikan gaji yang tidak signifikan dan tidak merata atau sistem sertifiikasi yang tidak masuk akal memperkuat asumsi ini.
Indikasi ini dapat dilihat pada semua level pendidikan, dari tingkat dasar sampai pendidikan tingkat tinggi. Pada sekolah dasar tingkat menengah, kesenjangan pada sekolah-sekolah negeri sangatlah tinggi. Ada sekolah yang kaya dan ada sekolah yang miskin. Status sekolah menjadi tergantung kondisi social ekonomi muridnya, padahal setiap kepala di Negara ini memiliki hak yang sama dalam menerima pendidikan. Ada sekolah roboh, ada sekolah yang megah, padahal semua sekolah milik pemerintah kenapa terjadi perbedaan, bahkan di dalam sekolahpun dibedakan, ada yang masuk rintisan sekolah bertaraf internasional dan ada sekolah yang biasa saja. Yang satu ber-AC dan berbahasa inggris, yang satu berkeringat dan berbahasa Indonesia.
Mengapa ada rintisan sekolah bertaraf internasional? Ini adalah wujud ketidakpercayaan diri pada sekolah nasional atau inferioritas sebagai bangsa. Kalaupun sekolah bertaraf internasional ini dianggap memiliki kualitas yang lebih baik kenapa tidak dijadikan standar nasional untuk semua lini di pendidikan, kenapa diperuntukan hanya untuk kelompok tertentu?
Diskriminasi tidak terjadi hanya ketika kita akan masuk sekolah yang tersaring dengan tariff mahal, akan tetapi dalam proses di dalamnya pun terjadi diskriminasi lanjutan. Pada tingkat pendidikan tinggi, universitas besr dijadikan BHMN (badan hukum milik Negara), sekarang sedang menuju BHP (badan hukum pendidikan).
Sekolah dan perguruan tinggi didesainn agar berpikir dan bergerak secara swasta, dengan sebuah asumsi dasar swasta lebih baik dari public atau pemerintah.
Ketidakadilan structural adalah fenomena yang nyata dalam sistem pendidikan di Indonesia. Memang sekarang masyarakat dihadapkan pada banyak pilihan dalam pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, akan tetapi pilihan itu terletak pada kemampuan membayar. Ini dimulai dengan tingginya uang masuk sekolah disemua tingkat pendidikan baik negeri maupun swasta. Akhirnya orang kaya masuk sekolah swasta yang mahal atau sekolah negeri yang mahal yang dikelola secara swasta. Sedangkan orang miskin harus masuk sekolah-sekolah negeri atau swasta yang jelek termasuk masuk pesantren yang murah, atau mereka sama sekali tidak meninkmati pendidikan itu.
Struktur pendidikan seperti ini adalah struktur yang diskriminatif dan tidak adil, bahkan dapat dikatakan sebagai “aducation apartheid” atau suatu sistem pendidikan yang memisahkan kelompok masyarakat. Sistem pendidikan seperti ini tidak bisa menjadikan pendidikan berkualitas baik dan merata. Orientasi siswa dan pengajar menjadi berubah, pendidikan hanya menghasilkan tukang yang mensuplai kebutuhan-kebutuhan perusahaan-perusahaan.
Sementara itu pendidikan yang tidak menjadi subsistem atau elemen pasar menjadi tersingkir. Pendidikan tradisional seperti pesantren terpinggirkan atau sengaja dipinggirkan dan mati perlahan-lahan. Moderenisasi yang tidak berakar pada tradisi, dan pengabdian pada “kumpeni” (company) terus digalakan. Pesantren suatu saat akan menjadi sebuah nama, dan bahkan tidak dikenal sama sekali.
Lebih sederhananya adalah, sekolah-sekolah madrasah swasta yang sangat minim mendapat perhatian dari semua unsure/instansi penunjang. Berbeda dengan perhatian yang diberikan oleh pemerintah kepada sekolah-sekolah madrasah yang setatusnya negeri. Hal ini dapat menjadikan mutu serta kualitas pendidikan yang tidak berimbang, serta berdampak pada ketidakadilan dalam mendapatkan hak pendidikan yang sama, yang masuk ke dalam "UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN."
Tidak ada satu Negara pun yang mengabaikan pendidikan sebagai unsure pembangunan peradaban suatu bangsa. Hamper dapat dipastiakan semua meyakini itu. Tapi di Indonesia mengalami kendala tersendiri dalam hal sumber daya dan infrastruktur pendidikan. Hal ini mungkin terjadi seiring dengan pembangunan bangsa yang secara umum belum merata, namun tetap saja seharusnya pemerintah bisa memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia tidak peduli itu sekolah negeri atau swasta, di kota atau di desa, karena hal tersebut merupakan tugas dan kewajiban pemerintah.
Indonesia pada kurun waktu terkini mengalami degradasi yang signifikan dalam hal pendidikan, bahkan pendidikan di Indonesia yang diinsafi sebagai wahana sosialisasi moral mengalami kemerosotan pada tulang sendi pembangunannya. Dan hal ini telah berimbas pada rendahnya kualitas pendidikan di banyak daerah di Indonesia.
Kita masih menunggu dimana semua rakyat Indonesia bisa mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang seharusnya, dan rakyat Indonesia bisa berbangga dengan sistem pendidikan di negerinya sendiri, yang dimana bisa mencerdaskan putra-putri bangsa tanpa memeras keringat dan darahnya, tidak ada perbedaan dalam pendidikan dan tidak ada lagi diskriminasi dalam pendidikan, semua memiliki hak yang sama sebagai warga Negara Indonesia. Kita masih menunggu dimana pemerintah bisa lebih arif dan bijaksana dalam menangani krisis pendidikan ini, dimana pemerintah seharusnya lebih lebih peduli dan lebih tulus menjalankan kewajibannya dalm mencerdaskan anak bangsa. Sejuta harapan kita sampaikan kepada pemerintah, kita yakin jika pemerintah bisa.
Minggu, 13 Maret 2011
Antara Kami Anak Bangsa, Pemerintah dan Pendidikan
Posted by JUMBO JAYA PERKASA
05.14, under | No comments
0 komentar:
Posting Komentar